JAKARTA – Kekerasan di sekolah merupakan masalah serius yang mengancam perkembangan peserta didik, baik secara akademis maupun psikologis. Dampak dari kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi dapat menghancurkan rasa aman siswa dan menghambat potensi mereka.
Oleh karena itu, penanganan kekerasan di sekolah menjadi prioritas utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dan inklusif.
Keberadaan Satuan Tugas (Satgas) dan Tim Pusat Penanganan Kekerasan (TPPK) menjadi garda terdepan dalam program, kebijakan, dan intervensi pencegahan serta penanganan kekerasan. Saat ini, lebih dari 93 persen TPPK telah terbentuk, mencakup 402.978 TPPK dari 432.011 satuan pendidikan di Indonesia.
Sementara itu, lebih dari 71 persen Satgas provinsi dan 85 persen TPPK juga telah dibentuk sejak disahkannya payung hukum ini.
Untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), lebih dari 89 persen TPPK telah terbentuk, dan 81,64 persen pendidikan masyarakat juga memiliki TPPK di seluruh Indonesia.
Peserta pelatihan tidak hanya terdiri dari TPPK dan Satgas, tetapi juga meliputi Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak dari wilayah yang sama.
Setelah pelatihan, mereka diharapkan dapat menyebarluaskan ilmu dan keterampilan yang diperoleh kepada satuan tugas di daerah masing-masing, sehingga semakin banyak sekolah yang siap menangani kekerasan dengan tepat.
“Materi yang didapatkan di pelatihan ini sangat penting bagi kami, Satgas, dan khususnya TPPK yang menjadi garda terdepan penanganan kekerasan. Dengan peningkatan kapasitas, saya harapkan peran TPPK lebih responsif saat melakukan penanganan,” ujar Amna Zalifa, dilansir InfoPublik, Kamis (17/10/2024).
Hapit Agustin dari TPPK di UPT SPF SDN 105855 PTPN II Kabupaten Deli Serdang mengatakan bahwa dampak dari pelatihan tersebut sangat uar biasa.
“Yang awalnya belum paham bagaimana menangani kasus dengan baik, sekarang jadi tahu sedikit demi sedikit cara proses menanganinya dan bagaimana memperlakukan terlapor serta korban dengan benar. Baik pelapor maupun korban harus mendapatkan pendampingan,” kata Hapit Agustin.
“Pelatihan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya di berbagai wilayah, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Selatan,” ujarnya.
Sementara itu untuk pelatihan region 5 juga akan dilaksanakan pada 21-24 Oktober mendatang, mencakup Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo.
Dengan demikian, Kemendikbudristek berupaya memastikan bahwa seluruh daerah di Indonesia memiliki kapasitas yang cukup dalam menangani kekerasan di sekolah.
Pelatihan didukung oleh fasilitator nasional dan Master Trainer dari berbagai lembaga di bawah Kemendikbudristek, termasuk BBPMP, BPMP, BBGP, dan BGP, serta melibatkan fasilitator dari Jaringan Masyarakat Sipil, termasuk Aliansi Sumut Bersatu, Yayasan Al-Azhar, Yayasan PUPA, Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor), serta Konsultan Psikolog.
Dengan melibatkan berbagai elemen tersebut, diharapkan penanganan kekerasan di sekolah dapat dilakukan secara tepat dan sesuai dengan pedoman yang ada.
Setelah pelatihan, peserta akan bertugas menyebarkan ilmu yang didapat kepada satuan tugas di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, serta TPPK di tingkat satuan pendidikan.
Dengan upaya itu, Kemendikbudristek optimis bahwa lingkungan pendidikan di Indonesia akan semakin kondusif bagi perkembangan peserta didik, bebas dari kekerasan, dan sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila. (***)
Editor: Hasan
Discussion about this post